0

Kisah Putus Sambung Soekarno-Hatta

http://www.youtube.com/v/LiDoJ0KNKpI?autohide=1&version=3&autoplay=1&attribution_tag=KzB79iGbGIXe1oOGCCWLIw&showinfo=1&feature=share&autohide=1
0

Tugu Aman Dimot di pelataran depan Kantor Bupati Aceh Tengah

Tugu Aman Dimot di pelataran depan Kantor Bupati Aceh Tengah, Provinsi Aceh
Aman Dimot adalah seorang pejuang dari Tanoh GAYO Aceh  saat mempertahankan RI dari Agresi Belanda. Aman Dimot dikisahkan sangat pemberani , Aman Dimot juga yang membantai pasukan Belanda di Tiga Binga Tanah Karo Sumut tahun 1949. Pemda Aceh Tengah mengenang jasa Aman Dimot dengan cara membuat sebuah tugu di depan kantor orang nomor satu di Aceh tengah. tapi sayang Pemerintah Provinsi Aceh kurang, bersemangat untuk menurunkan Tim Pencari Pakta untuk menelusuri Jejak Perjalanan Aman dimot, sehingga aman Dimot kekurangan data dan Syarat untuk mendapat kan Gelar Pahlawan Nasional 

Liris: 
RUHDI.SE
Cicit Panglima aman Dimot

0

Aman Dimot


Aman Dimot

Pahlawan Aman Dimot
by sudirman
I Pendahuluan
Perjuangan bangsa pada umumnya diartikan sebagai wujud rasa cinta tanah air, kerelaan dan kesadaran untuk membela negara yang timbul pada suatu bangsa. Sementara pengertian nasionalisme adalah hasil proses interaksi kesadaran subjektif antargolongan masyarakat dalam mengembangkan bangsa (Indonesia), dan di lain pihak adalah kondisi objektif sosial politik dalam kurun waktu tertentu yang berkembang di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini nasionalisme tidak hanya terbatas pada ucapan saja, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata demi kepentingan bangsa dan negara.
Nasionalisme suatu bangsa lebih disebabkan oleh adanya kemauan bersama dari kelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku dan agama. Demikian juga oleh faktor geografis, ekonomis, historis dan lain-lain. Amanah itulah yang telah dilaksanakan oleh orang-orang cerdas dan tercerahkan pada zaman dahulu, di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot, dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini demi kehidupan yang bermartabat.

II Perjuangan dan Pahlawan Bangsa
Bangsa kita pernah mengalami beberapa masa penjajahan, seperti masa Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang, serta masa Perang Kemerdekaan 1945-1949. Dalam perjalanan sejarah masa penjajahan tersebut telah melahirkan aneka pengorbanan dan berbagai gumpalan mega derita dalam berbagai dimensi kehidupan anak manusia.
Pada periode itu pula tampil tokoh masyarakat di setiap daerah untuk memimpin rakyatnya menentang penjajahan tersebut. Situasi konflik dan antagonisme itulah yang sesungguhnya melahirkan pahlawan. Periode kolonial dengan segala implikasi sosial-ekonomi-politiknya selalu dikambinghitamkan sebagai sumber segala jenis kepentingan, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, dan keterbelakangan. Sikap dan prilaku individu atau kelompok yang berkehendak mengubah dan atau mengakhiri keadaan serba tidak adil dan timpang itu dianggap sebagai tindakan kepahlawanan. Orang atau kelompok yang ingin dengan sepenuh hati, tenaga, dan pikiran yang mewujudkan kondisi-kondisi ideal bagi komunitasnya diberi predikat pahlawan. Seorang pahlawan dengan demikian adalah seorang yang dengan gigih dan semangat rela berkorban bersedia mengabdikan diri demi merealisasikan cita-cita yang sesungguhnya juga merupakan cita-cita yang kolektif. Biasanya pahlawan melakukan perjuangan mulia demi kepentingan umum tanpa memperdulikan resiko atas dirinya sendiri.
Untuk itu, kita mengenal adanya pahlawan dari berbagai daerah, salah satu di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot, seorang pahlawan Aceh yang berasal dari Aceh Tengah.

III ACEH MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Perjanjian Linggajati 1947, ternyata gagal dilaksanakan, yang berujung dengan ultimatum Belanda Mei 1947, karena Belanda ingin membentuk pemerintah bersama dengan pimpinan tertinggi berada di Nederland. Belanda ternyata masih berniat menguasai Indonesia, sehingga terjadi Agresi Belanda I dengan menyerbu berbagai daerah pada tanggal 21 Juli 1947. demikian juga dengan gagalnya perjanjian Renville, yang berujung dengan terjadinya Agresi Belanda II.
Memahami situasi tersebut, masyarakat Aceh sudah dalam keadaan siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan dilakukan oleh Belanda. Hal itu dengan melakukan konsolidasi kekuatan divisi dan lasykar. Bahkan jauh sebelumnya, yaitu setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu 1945, ternyata Sekutu mendarat ke Indonesia, khususnya Sumatera Timur Oktober 1945, Sekutu ternyata membonceng tentara Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Akibat rong-rongan yang terus-menerus dilakukan oleh tentara Belanda, sehingga mendapatkan perlawanan sengit dari rakyat.
Masyarakat Aceh yang sudah memperhitungkan sebelumnya bahwa Belanda akan kembali lagi, sehingga sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi jika Belanda benar-benar kembali. Ternyata perkiraan itu benar, sehingga untuk mengantisipasi agar Belanda tidak dapat masuk dan menyerbu Aceh maka masyarakat Aceh yang tergabung dalam berbagai lasykar dan divisi terus menghadang gerak laju Belanda di daerah Sumatera Timur. Lasykar-lasykar rakyat Aceh kemudian terus membanjiri Sumatera Timur untuk menghempang Belanda masuk Aceh dan mengusir penjajahan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

IV Aman Dimot : Pahlawan Kemerdekaan dari Aceh Tengah
Demikian halnya yang dilakukan oleh masyarakat di Aceh Tengah, mendengar keadaan tersebut mereka tidak tinggal diam dan merasa terpanggil untuk membantu perjuangan di setiap front di Sumatera Timur. Banyak pasukan pejuang dari Aceh Tengah yang berangkat ke sana, salah satu di antaranya adalah Panglime Abu Bakar Aman Dimot.
Panglime Abu Bakar Aman Dimot lahir di Tenamak, Linge Isaq tahun 1920. Sebagai seorang muslim, ia semenjak kecil telah ditempa dengan pendidikan agama oleh orang tuanya, sehingga ketika besar menjadi berkepribadian yang tangguh dan mandiri serta mampu menghadapi berbagai masalah dengan tegar dan sabar.
Tidak hayal lagi ketika musuh sudah mengancam keyakinan dan tanah airnya maka bergelora jiwanya untuk tampil membela agama dan bangsa. Hal itu ia buktikan ketika Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Lebe menyerbu Belanda ke Sumatera Timur, Panglime Abu Bakar Aman Dimot ikut begabung. Dalam perjalanan ke Sumatera Timur, tiba-tiba dihadang oleh pasukan musuh yang sedang berpatroli di Bukit Talang, sehingga terjadi pertempuran sengit antara pasukan Panglime Aman Dimot dengan pasukan patroli Belanda.
Pada tahun 1947, Batang Serangan, Langkat yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pasukan Belanda sehingga pasukan Panglime Abu Bakar Aman Dimot bergabung dengan pasukan pejuang setempat menyerang Batang Serangan dan rumah sakit umum Batang Serangan yang sudah dijadikan markas militer Belanda. Dalam penyerangan tersebut pasukan pejuang menjadi terdesak karena pasukan musuh yang memiliki senjata berat, sehingga pasukan pejuang mengundurkan diri untuk mengatur strategi. Namun, apa yang terjadi, Panglime Abu Bakar Aman Dimot beserta dua orang temannya tidak mau mengundurkan diri dan terus maju mendekati markas militer Belanda. Ketika tengah malam ia menerobos masuk ke markas militer Belanda sehingga terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Belanda di dalam markas tersebut. Panglime Abu Bakar Aman Dimot dengan kelincahannya dalam berperang sehingga dapat lolos dalam peristiwa tersebut, padahal kedua temannya tewas, Panglime Abu Bakar Aman Dimot hanya mengalami luka-luka ringan. Belanda terpaksa mengosongkan markas tersebut karena serangan yang terus-menerus dilakukan oleh pasukan pejuang.
Sekembali mereka dari Sumatera Timur ke Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe membentuk Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah untuk program gerilya jangka panjang mempertahankan kemerdekaan. Panglime Abu Bakar Aman Dimot ikut bergabung dalam barisan tersebut.
Atas instruksi Komandan Resimen Devisi Teungku Chik Di Tiro, Barisan Gurilla Rakyat dari Takengon menuju Tanah Karo pada bulan Mei 1949 untuk menyerang Belanda yang telah melancarkan agresinya yang kedua. Perjuangan ke Tanah Karo itu dipimpin langsung oleh Komandan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe dan pimpinan operasi di antaranya dipimpin oleh Panglime Abu Bakar Aman Dimot.
Pasukan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah beberapa kali terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda. Panglime Abu Bakar Aman Dimot yang dipercayakan sebagai komandan pertempuran terus menghadang dan menghancurkan konvoi Belanda. Pada suatu hari, pasukan Belanda yang sedang menuju Tiga Binanga diserang oleh pasukan pejuang Panglime Abu Bakar Aman Dimot di jalan raya Kabanjahe jurusan Kutacane. Di tempat tersebut terjadi pertempuran sengit dan memakan banyak korban kedua belah pihak.
Ketika pasukan pejuang mengurus pejuang yang gugur ke rumah sakit Kabanjahe, tiba-tiba datang bala bantuan tentara Belanda. Komandan Barisan Gurilla Rakyat Aceh Tengah, Teungku Ilyas Lebe, memerintahkan pasukan untuk mundur, Panglime Aman Dimot selaku komandan salah satu pasukan menyuruh anak buahnya untuk mundur. Akan tetapi, Panglime Abu Bakar Aman Dimot tidak mau mundur, bersama Pang Ali Rema dan Pang Edem bertahan menunggu musuh dengan cara menyatukan dirinya dengan mayat-mayat yang sudah bergelimpangan tadi, sehingga Belanda mengira mereka bertigapun sudah mati. Ketika Belanda meneliti mayat-mayat anggota pasukannya, tiba-tiba Panglime Abu Bakar Aman Dimot beserta temannya menyerang serdadu Belanda dengan pedang, banyak serdadu Belanda yang tewas dan kedua teman Panglime Abu Bakar Aman Dimot juga tewas, sedangkan Panglime Panglime Abu Bakar Aman Dimot terus mengejar serdadu Belanda dengan pedang. Belanda menjadi bingung karenan beberapa kali gagal membunuh Panglime Abu Bakar Aman Dimot, akhirnya pasukan Belanda menangkap Panglime Abu Bakar Aman Dimot dan meledakkan granat ke dalam mulutnya, tidak cukup dengan itu, pasukan Belanda menggilas tubuh Panglime Abu Bakar Aman Dimot dengan tank. Maka pada tanggal 30 Juli 1949, gugurlah Panglime Aman Dimot di Rajamerahe, Sukaramai, Karo dan dimakamkan di tempat itu. Beberapa tahun kemudian kerangkanya dipindahkan ke Tiga Binanga, selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.

V Penutup
Merujuk kepada pemahaman nasionalisme klasik, yakni perjuangan kebangsaan untuk membebaskan negeri dari penjajah. Dalam konteks ini, nasionalisme suatu bangsa hanya sebatas berjuang membebaskan bangsa dari bangsa penjajah. Namun, dalam konteks kekinian, nasionalisme tidak hanya sebatas berkecimpung dalam pergolakan perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa yang telah diraih.
Tiada semua pahlawan yang namanya abadi sepanjang masa, dan masih banyak pahlawan yang tiada dikenal dan tiada disapa lagi. Akibat perang ini telah membawa kehidupan anak manusia di bumi ini menjadi dua belah, pada satu belah ia mendapat nama dan harta, di belahan lain ia bergelut dalam berbagai gumpalan derita sampai kepada anak cucunya, dan tiada sedikit menjadi pengkianat bagi bangsanya.
Kecuali itu, sudah menjadi kepastian sejarah bahwa semangat rakyat di bumi Serambi Mekah ini tidak mudah dipadamkan dan ditaklukkan oleh penjajahan.
Namun pertanyaan selalu ada, apakah generasi sesudahnya dapat menyimak perjalanan sejarah itu, sehingga dalam gerak dan langkah mereka senantiasa menghayati nilai-nilai pengorbanan, ketaqwaan, ketulusan, cinta tanah air, tidak kenal menyerah dan tanpa pamrih. Apakah mereka tidak dapat menyingkirkan atau setidaknya tidak turut menabur kerikil-kerikil tajam di atas jalan raya perjalanan sejarah dan kehidupan umat manusia di negeri yang kita cintai ini.
Panglime Abu Bakar Aman Dimot adalah seorang pahlawan yang dengan tindakan-tindakan nyata telah berjasa kepada nusa dan bangsa. Demikian besar jasanya dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan negara ini, sudah selayaknya untuk menghargai jasanya dengan mengangkat sebagai Pahlawan Nasional.


Daftar Pustaka

Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah (Perang Aceh 1873-1912), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Ibrahim, Mahmud, Mujahid Daratan Tinggi Gayo, Takengon : Yayasan Maqamammahmuda, 2001.

Kohn, Hans, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, Jakarta : Pembangunan, 1876

Muhammad Isa, T., Mr. Teuku Moehammad Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 1999.

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994

van Niel, Robert, The Emergense of Modern Indonesian Elite, Den Haag : The Hague van Hoeve, 1960

Wiwoho, B., Pasukan Meriam Nukum Sanany, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.

Zamzami, Amran, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
0

PEDANG PANGLIMA AMAN DIMOT

 Peninggalan Pedang Panglima Aman Dimot di Pesejuk di Batalion 114 Satria Musara, oleh Siti Ramlah anak dari Seh Ahmad, Anak Kandung dari Panglima Aman Dimot 
Pedang Panglima Aman Dimot pada saat itu di titipkan  kepada sahabatnya Imem Lumut,  di Kecamatan Linge, pada saat itu Aman dimot menitipkan ke pada Imem Lumut, Kabupaten Aceh Tengah di saat keberangkatan terahir tahun 1949, Sumatra Utara Tiga Binanga, pada saat itu Aman Dimot Berkata kepada sahabatnya Imem Lumut,  bahwa  saya tidak Pulang dari medan Perang melawan Belanda maka ku titipkan Pedang ini sebagai tanda bahwa kepergianku demi bangsa dan Tanah Air,      




 Pedang Aman Dimot di ambil oleh kelurga Besar pada tahun 2008



0

Panglima Aman Dimot Asal Gayo Provinsi Aceh


PANGLIMA AMAN DIMOT Bersama Rekan Sepejuangan,

Moto, Panglima Aman Dimot di kenal dan sangat di terap dalam keluarga Besar yaitu.
LEBIH BAIK BERPUTIH TULANG, DARI PADA BERPUTIH TAPAK
0

PANGLIMA AMAN DIMOT DENGAN ILMU KEBALNYA HADANG MOBIL TANK BELANDA

Indonesia, merupakan negeri yang memiliki banyak pahlawan dan manusia-manusia unik yang terlibat dalam usaha merebut kemerdekaan. Ragam cerita dan kisah seputar perjuangan menghalau Belanda dari nusantara, terkadang diluar logika sehat. Bentuk cerita dan kisah aksi mereka di medan perang gerilya sungguh berbeda dengan aksi gerilyawan di tempat lain. Salah satu kisah paling unik dan heroik yang selalu dikenang rakyat Tanoh Gayo Aceh Tengah sampai hari ini adalah kisah keberanian Abubakar Aman Dimot.

Lelaki kelahiran Tenamak Kecamatan Linge sekitar tahun 1900, oleh teman-temanya dipanggil Aman Dimot. Dia merupakan seorang pejuang asal Tanoh Gayo Aceh Tengah yang tergabung dalam pasukan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) yang dikomandani oleh Tengku Ilyas Leube. Saat berlangsungnya Agresi Militer Belanda I, seluruh pejuang Aceh dengan sukarela menuju ke front Medan Area untuk menghalau pasukan Belanda yang ingin menduduki kembali wilayah nusantara.

Menurut AR Hakim Aman Pinan (dalam Buku Pesona Tanoh Gayo, 2003), taktik perang gerilya yang digunakan para pejuang asal Aceh tersebut dalam menghadapi Belanda di front Tanah Karo Sumatera Utara belum mampu menghentikan laju pasukan Belanda. Pertempuran yang berlangsung di Kabanjahe Tanah Karo itu tidak kunjung berakhir, meskipun dari kedua belah pihak sudah banyak jatuh korban jiwa. Belanda terus menambah pasukan bantuan untuk mengalahkan gerilyawan yang selalu menghalangi jalan mereka untuk kembali menguasai Indonesia.

Pada tanggal 30 Juli 1949, pasukan Bagura dan Mujahidin yang diperkuat oleh 45 orang dengan persenjataan senapan dan kelewang mengintai konvoy pasukan Belanda yang diperkuat 2 tank dan 25 truk. Diantara anggota pasukan pengintai itu termasuklah seorang “pang” (sebutan untuk orang yang berani dan kebal-bulletproof) yang bernama Aman Dimot. Dia selalu siap bertempur secara terbuka, kapan dan dimana saja.

Mereka sudah mengintai konvoy pasukan Belanda sejak pagi. Begitu iring-iringan mendekat ke kawasan Rajamerahe (Tanah Karo), pasukan Bagura bersama gerilyawan setempat menyerbu konvoy itu dan mencincang pasukan Belanda yang keluar dari tank. Pertempuran jarak dekat itu tidak kunjung berakhir, sementara pasukan Bagura sudah sangat lelah. Komandan pasukan sudah perintahkan seluruh personil untuk mundur, namun Aman Dimot tetap bertahan.

Dengan bersenjatakan kelewang, Aman Dimot kembali mengamuk sambil menebas pasukan Belanda yang dekat dengan posisinya. AR Hakim Aman Pinan (2003) mencatat, cukup banyak pasukan Belanda yang tewas karena sabetan kelewang Aman Dimot, namun tidak ada yang menghitung berapa jumlah pastinya. Tragisnya, karena keasyikan menebas dan membabat pasukan Belanda, tanpa disadari Aman Dimot ternyata dia sudah dikepung oleh bala bantuan pasukan Belanda.

Sejumlah pasukan Belanda yang sedang mengepung Aman Dimot secara serentak melepaskan ratusan butir peluru dari senapan otomatis dan machine gun. Peluru-peluru tembaga yang dimuntahkan dari senapan pasukan Belanda membentur tubuh Aman Dimot, dan dia pun terkulai lemas. Meski peluru itu nyata mengenai tubuhnya, berdasarkan penuturan pasukan Bagura yang selamat, tidak ditemukan bekas luka peluru ditubuh Aman Dimot.

Menyaksikan peluru yang mereka tembakkan tidak melukai tubuh Aman Dimot, pasukan Belanda panik. Mereka khawatir, jika kemudian Aman Dimot pulih dari lemasnya bisa mengamuk dan menebas mereka dengan kelewangnya. Kemudian tubuh Aman Dimot digilas dan diseret dengan tank, ternyata masih juga hidup. Akhirnya tubuh Aman Dimot diletakkan dalam parit, lalu pasukan Belanda memasukkan granat ke mulut Aman Dimot dan meledakkannya. Aman Dimot pun gugur sebagai bunga bangsa pada pukul 12.00 WIB yang akhirnya dikebumikan oleh penduduk setempat di Desa Kandibata Tanah Karo.

Semangat patriotik yang diperlihatkan Aman Dimot diakui oleh semua orang sampai hari ini. Sayangnya, meski sudah diusulkan kepada Pemerintah, toh si pemberani Aman Dimot belum memperoleh penetapan sebagai pahlawan. Dia orang biasa yang memiliki keberanian luar biasa, layak disebut pahlawan. Semoga di hari pahlawan tahun ini, sang pemberani itu mendapat perhatian dari Pemerintah, dan berhak menyandang gelar sebagai salah seorang pahlawan kemerdekaan.
0

Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa

Panglima Teungku Tapa:
Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai saat Sultan Muhammad Daudsyah ditangkap di Pidie pada tahun 1903 ternyata belum juga berakhir. Meskipun Sultan telah ditangkap, perang masih saja berlarut-larut bahkan sampai menjelang kadatangan Jepang ke Aceh pada tahun 1942. Perang yang sangat panjang ini, tentu saja melahirkan banyak sekali panglima perang, di antaranya yang terkenal adalah Panglima Tengku Tapa.Siapa Panglima Tengku Tapa?. Sejauh ini belum ada referensi yang menyebutkan nama asli Panglima yang terkenal ini. Namun nama beliau sangat sering disebut dalam sejarah Perang Aceh, khususnya pada fase terakhir, yaitu akhir abad ke-19. Dalam perlawanan terhadap Belanda di wilayah pesisir timur Aceh sejak dari tahun 1898 sampai tahun 1900.

Panglima Tengku Tapa, namanya sering disejajarkan dengan Panglima Nyak Makam yang sama-sama sangat gigih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh dalam rangka mempertahankan eksistensi Kerajaan Aceh Darussalam dari gempuran Belanda yang semakin intensif dilakukan di seluruh wilayah Aceh. Tidak tanggung-tanggung, Van Heutsz sendiri turun tangan dalam mengejar pasukan Tengku Tapa hingga ke Idi, Aceh Timur dari Kutaraja (Banda Aceh).

Panglima Tengku Tapa berasal dari daerah Telong Redelong Tue, yang berjarak kira-kira 25 kilometer dari Takengon Gayo Lut, ibukota Aceh Tengah sekarang. Menurut sumber lokal menyebutkan bahwa, para pembantu Tengku Tapa di Dataran Tinggi Gayo adalah Pang Pren dari Munte Kala kampung Kung Pegasing, sementara Pang Ramung dari Kebayakan. Pang Pren dan Pang Ramung sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama panglima Tengku Tapa, bahkan kedua-duanya sering diikutsertakan Tengku Tapa menghadap Sultan Aceh dan pembesar-pembesar lainnya di Kutaraja. Pang Pren diberi tugas oleh Panglima Tengku Tapa di daerah Bebesan-Pegasing, sementara Pang Ramung mendapat tugas memimpin daerah Bukit kebayakan di Gayo Lut. Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Pang Pren mewakili Panglima Tengku Tapa di seluruh daerah Gayo Lut bersama Pang Ramung.

Pasukan Panglima Tengku Tapa merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi Gayo dan pasukan dari Aceh. Mereka beroperasi di sekitar Aceh timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 dan 1900. Pasukan ini dikenal sangat tangguh, berani dan fanatik oleh pasukan Belanda. Namun, karena pasukan Van Heutsz yang sangat besar dalam jumlah dan persenjataannya membuat pasukan Panglima Tengku Tapa harus mengundurkan diri ke Dataran Tinggi Gayo yang berjarak kira-kira 40 sampai 50 kilometer dari Idi.

Snouck Hurgronje yang banyak menulis tentang Aceh menyebutkan bahwa Panglima Tengku Tapa adalah “orang ajaib” atau “orang keramat” yang dalam istilahnya sendiri menyebut “wonderman” yang berasal dari Gayo Telong. Menurut Snouck, Tengku Tapa sangat banyak pengikutnya pada tahun 1898 hingga tahun 1900, terutama di daerah Aceh Timur dan daerah Pasee, Aceh Utara. Tengku Tapa tetap melakukan perlawanan bersama pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Gayo dan orang-orang Aceh, hingga beliau syahid di daerah Pasee pada tahun 1900.

Snouck menyebutkan, pada awalnya Tengku Tapa merupakan seorang penghisap candu dan pemain judi, kemudian dia mendapat ilham setelah bertapa selama tujuh tahun di Gunung Geureudong dekat Telong Takengon. Sekembalinya dari pertapaan, dia insyaf dan memiliki ilmu kekuatan ghaib. Perubahannya secara fisik sangat kentara, sehingga ia tidak dikenali lagi oleh seorangpun yang mengenal sebelumnya. Demi berbakti dalam perang sabil atau perang suci melawan Belanda, ia lebih memilih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh, karena ia berpikiran akan mendapat pengikut yang lebih banyak dibandingkan bila berjuang di daerahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan ia tampil dalam peperangan di pesisir timur Aceh bersama-sama dengan para pengikutnya.(Snouck, 1903, hlm.187)

Dalam versi lain, M. Said, menyebutkan Tengku Tapa yang berasal dari Gayo dan memimpin pertempuran di wilayah Aceh Timur. Hal itu terjadi setelah Panglima Nyak Makam syahid oleh Belanda di Aceh Besar. Dikisahkan, Tengku Tapa berjuang bersama dengan istrinya sejak 30 Juni 1898 dalam pertempuran melawan serbuan Belanda di Aceh Timur yang terus berkobar. Setelah Idi Cut dapat dikuasai oleh pasukan Tengku Tapa, beliau memilih Peukan Idi sebagai markas pertahanannya.

Pihak Belanda mencoba untuk merebut Idi Cut kembali, tetapi pasukan Tengku Tapa terus maju mengadakan serangan sampai ke ibukota Idi. Di daerah dekat Idi, di Teupin Batee Tengku Tapa membangun kubu-kubu pertahanan pasukannya. Pada tanggal 3 Juli 1898, balatentara Belanda mendaratkan balabantuan tambahan secara besar-besaran ke Idi. Tiga Kompi tambahan dikerahkan untuk menyerbu pertahanan Tengku Tapa di Teupin Batee.

Menurut laporan Belanda, penyerbuan ke Teupin Batee tidak berhasil dilakukan sehingga mereka terpaksa mundur lagi ke Idi. Pasukan Teungku Tapa yang berkeinginan merebut kota Idi membangun kubu pertahanan di daerah Seuneubok. Belanda mengirimkan pasukan besar-besaran yang dipimpin van Heutsz sendiri untuk membantu pasukan lama yang semakin terdesak oleh pasukan serbuan Tengku Tapa. Pada tanggal 7-11 Juli 1898, pasukan van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke pertahanan Panglima Tengku Tapa di Seuneubok. Akhirnya pasukan Tengku Tapa tidak dapat mempertahankan Seuneubok dan mereka terpaksa mundur ke Tanah Gayo.(M.Said, 1961, hlm.615).

Dalam tulisan versi lain Hazil menyebutkan, bahwa Tengku Tapa adalah seorang ulama dari Idi. Beliau merupakan penganjur perang sabil terhadap Belanda. Teungku Tapa mengajarkan kepada rakyat, bahwa suatu mukjizat akan terjadi di Aceh; seperti dalam hikayat Malem Dewa dan Meureundam Dewi dalam epos Malem Dewa yang sangat masyhur, kini telah bangkit kembali di Aceh Dar-al Islam. Tengku Tapa menyesuaikan hikayat yang populer itu dengan suasana kekinian pada masa itu, yakni dalam suasana Perang Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan agama dalam melawan penjajah yang kafir.

Kedua pahlawan yang telah bangkit itu akan menyelamatkan Aceh dari penjajahan. Demikian amanat dari Tengku Tapa. Ia mengajak rakyat Aceh ikut serta memerangi kafir dan menyelamatkan kemerdekaan negara dan agama. Anjuran ini disambut oleh rakyat dengan hangat. Kemudian pasukan Tengku Tapa menjadi besar dan laksana banjir meluas ke daerah-daerah lain pada akhir Juni 1898.

Pasukan Belanda terus mengejar Tengku Tapa untuk menghentikan perlawanannya, tetapi tidak berhasil. Van Heutsz terpaksa menunda mengejar Teuku Umar dan Panglima Polem. Ia sendiri terpaksa berangkat ke Idi untuk memadamkan perlawanan yang tidak disangka-sangka itu. Namun, pasukan Tengku Tapa terus maju menghadang pasukan meriam dan infanteri Van Heutsz, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi syahid. Pasukan Van Heutsz memperoleh kemenangan dalam serbuan itu, dan mereka terus mengejar sisa-sisa pasukan Tengku Tapa hingga ke Seuneubok. (Hazil, 1952, hlm.141-142).

Menurut Snouck, Tengku Tapa syahid di daerah Pasee Aceh Utara pada tahun 1900. Sejak saat itu sang “wonderman” sudah tidak pernah muncul lagi dalam perlawanan rakyat di pesisir timur Aceh.

Referensi :
Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh, Djakarta: Djambatan, 1952.
Hurgronje, Snouck.,C. Het Gajoland en zijne bewoners, Batavia: Pemerintah Hindia Belanda, 1903.
Said, M., Atjeh Sepandjang Abad, Medan: Waspada, 1961.

Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.